Jumat, 17 Mei 2013

Membandingkan Tentang Pemerintahan yang di Pimpin Susilo Bambang Yudhoyono & Joko Widodo

Kesamaan dan Perbedaan SBY dengan Jokowi

Sungguh disayangkan pemberitaan media sebagai informasi rakyat yang seolah mengadu kerja seorang Presiden SBY dan Gubernur DKI Jokowi. Kalau para pemimpin menyapa dan mengunjungi rakyatnya, itu adalah bagian dari tugas dan kewajiban para pemimpin.

Apa yang dilakukan Presiden SBY ataupun Gubernur Jokowi sepantasnya dilakukan oleh seluruh pemimpin disemua tingkatan dinegeri ini. Itulah kesamaan SBY dan Jokowi. Bedanya, Presiden SBY melakukan itu sejak menjadi pejabat, apakah di TNI mulai menjadi Dandim, sampai saat ini sebagai Presiden.

Selama menjadi Presiden, tak terhitung SBY mengunjungi rakyat secara langsung. Apakah dalam kunjungan atau Safari Ramadhan, kunjungan kerja kedaerah, mengunjungi korban bencana seperti Aceh, seminggu di Jogya, di Papua, di Miangas, dan hampir di seluruh daerah di tanah air.
Jokowi mungkin melakukan hal yang hampir sama, di Solo sebagai Walikota, dan baru beberapa kali di DKI dalam 3 bulan terakhir ini sebagai Gubernur.

Setiap pemimpin punya tugas dan kewajiban sesuai dengan tingkatannya.Turunnya para pemimpin ke daerah tentu ingin mengetahui secara langsung hasil kebijakan yang dicanangkan. Sehingga bisa dilakukan berbagai penyempurnaan.
Itulah persamaan dan perbedaan antara SBY dan Jokowi. Mereka menjalankan tugas dan kewajibannya masing-masing. Sungguh tidak perlu ada pihak yang dengan picik mempertangkannya.
*) Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi dan Informasi

Perbedaan Jokowi dengan SBY soal rapat
 

Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo atau biasa disebut Jokowi memang tidak sering rapat dalam menghadapi berbagai persoalan. Jokowi lebih suka terjun langsung atau blusukan dan langsung menemui masyarakat.

Tapi ada kalanya Jokowi memimpin rapat untuk membahas berbagai persoalan. Namun secara umum, Jokowi tidak banyak melakukan rapat. Hampir setiap hari, Jokowi blusukan ke daerah-daerah, menemui warga, memantau banjir, atau melakukan inspeksi mendadak ke kantor-kantor pemerintah di bawah naungan Pemprov DKI Jakarta.

Untuk urusan rapat, Jokowi terkadang melakukan rapat di tempat tidak biasa. Bukan di ruangan ber-AC seperti di Balai Kota dan hotel. Malah Jokowi memilih rapat kecil-kecilan di jalan raya atau di tempat kumuh.

Tentu saja, rapat Jokowi itu tidak ada tempat duduk yang empuk. Apalagi ada proyektor canggih. Jokowi kadang kala rapat di lapangan saat blusukan. Dia ingin sekali rapat ada solusi, bukan rapat tanpa solusi seperti rapat-rapat pejabat di negeri ini.

Bagaimana dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)? Presiden SBY dikenal sebagai sosok pemimpin yang banyak rapat. Untuk menjawab persoalan, tak jarang kepala negara mengumpulkan para kepala daerah, para menteri hingga pejabat BUMN.

Seperti pada Kamis (29/11) besok, Presiden SBY akan memberi instruksi kepada seluruh kepala daerah dan aparat keamanan untuk menyelesaikan konflik di masyarakat. Instruksi presiden itu akan dilakukan di Jakarta yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri.

"Hari Kamis, tanggal 29 November siang hari nanti. Tolong didampingi saudara (menteri) semua. Saya ingin memberikan instruksi langsung kepada para gubernur, bupati, wali kota dan dihadirkan jajaran kepolisian Tanah Air. Hadirkanlah jajaran Komando teritorial TNI dan unsur yang lain," ujar SBY saat membuka Sidang Kabinet Paripurna di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (27/11).

SBY akan mengumpulkan para kepala daerah terkait maraknya aksi kekerasan yang terjadi di Tanah Air seperti yang belum lama ini kerusuhan di Lampung, dan beberapa wilayah lainnya. Saat kerusuhan di Lapung terjadi, Presiden SBY sedang tidak berada di Tanah Air. Melainkan sedang melakukan kunjungan kenegaraan ke sejumlah negara sahabat.

Soal seringnya rapat yang dilakukan oleh presiden, pengamat sosial Moh Shofan MA pernah mengkritik SBY. Peneliti di Universitas Paramadina ini menilai, SBY terlalu banyak rapat. Padahal, untuk urusan bencana diperlukan langkah cepat serta tindakan yang tepat.

"SBY rapat melulu, koordinasi melulu, citra melulu. Sementara rakyat sudah jadi korban tewas dalam bencana Wasior, Mentawai dan Merapi tanpa penanganan nyata yang efektif dan cepat di lapangan," kata Shofan saat terjadi bencana banjir bandang dan longsor di Wasior, Papua pada 2010 lalu.

Shofan mengaku kecewa dengan sikap lamban SBY dalam mengatasi persoalan, termasuk mengatasi bencana. "SBY kebanyakan rapat dan wacana sebagai pencitraan belaka," sindir Shofan.

Tapi bukan berarti rapat-rapat di tempat yang nyeleneh, atau blusukan ke mana-mana yang dilakukan oleh Jokowi tanpa kritik. Jokowi oleh sebagian kalangan juga dituding sedang melakukan pencitraan.

Seperti yang disampaikan oleh politikus Partai Demokrat Ruhut Sitompul. Menurutnya, Jokowi selama ini terlalu banyak melakukan pencitraan.

"Pencitraan saja, kasihan Jakarta. Kita tunggu 1 tahun nanti, kita tunggu tanda-tandanya," kata Ruhut saat dihubungi merdeka.com, Jakarta, Rabu (24/10) lalu.

Sumber :
•    http://setkab.go.id/en/artikel-6900-.html
•    http://www.jadibisa.com/2012/11/perbedaan-jokowi-dengan-sby-soal-rapat.html

Jumat, 29 Maret 2013

Kemacetan Lalu-Lintas di DKI Jakarta dalam Tinjauan

 Kemacetan Lalu-Lintas di DKI Jakarta dalam Tinjauan 

Masalah kemacetan lalu-lintas di jalan raya sebenarnya sudah merambah hampir seluruh jalanan di kota – kota besar di Indonesia. Jika DKI Jakarta yang menjadi sorotan publik, tentu tidaklah aneh sebab disamping sebagai ibukota negara dan pusat industri, berbagai media massa nasional juga berpusat di Jakarta sehingga hal tersebut banyak disorot oleh pemberitaan. Kota-kota besar lainnya seperti Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Semarang, dan sebagainya pada saat-saat tertentu seperti pagi dan sore hari juga mengalami kemacetan.

Kemacetan lalu-lintas di jalan raya merupakan masalah klasik yang setiap saat kita jumpai dan setiap tahun frekuensi serta durasinya semakin bertambah. Hal ini tentu tidak lepas dari semakin bertambahnya pemakai jalan, baik pejalan kaki, kendaraan non motor, bermotor roda dua/tiga, dan mobil. Menurut situs merdeka.com di website-nya, http://www.merdeka.com/jakarta/selama-2012-13-juta-kendaraan-sesaki-jakarta.html, sejak Januari sampai April 2012 saja, kendaraan yang membebani jalanan Jakarta sudah mencapai 13.346.802. Dengan perincian, motor 9.861.451 unit, mobil 2.541.351 unit, mobil beban 581.290 unit, dan bus 363.710 unit. Secara keseluruhan, Indonesia kini menjadi negara ketiga yang paling banyak menggunakan kendaraan bermotor setelah Amerika dan China. Di tahun 2011, jumlah kendaraan bermotor di Indonesia mencapai 107.226.572 unit. Dengan rincian, mobil sebanyak 20.158.595 unit dan sepeda motor 87.067.796 unit. Sekedar perbandingan, jumlah kendaraan yang beroperasi di Amerika berjumlah 246.56 juta unit dan di China 154.65 juta unit. Sumber lainnya, dari situs megapolitan.kompas.com, di website-nya, http://megapolitan.kompas.com/read/2011/12/14/16413366/Tiap.Hari.Bertambah.1.068.Motor.dan.216.Mobil, menyebutkan bahwa tiap hari sebanyak 1.068 motor dan sekitar 216 mobil, bertambah di jalanan Jakarta. Adapun data pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor selama kurun waktu 1987 s.d. 2010 dapat dilihat pada situs Badan Pusat Statistik (BPS) di alamat http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=17¬ab=12.

Berdasarkan hal tersebut di atas, jelaslah bahwa jumlah kendaraan bermotor yang tidak seimbang dengan kapasitas jalan raya merupakan penyebab utama kemacetan lalu-lintas di jalan raya khususnya DKI Jakarta. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya yaitu tingkat kedisiplinan pengguna jalan yang masih perlu ditingkatkan dan bencana alam seperti banjir atau pun kegiatan-kegiatan massal seperti adanya demonstrasi, tawuran, dan lain sebagainya yang kadang dapat terjadi sewaktu-waktu.

Lebih jauh menurut saya, kemacetan lalu-lintas di jalan disebabkan oleh faktor mentalitas masyarakat kita yang cenderung konsumerisme. Misalnya saja, lebih senang menggunakan kendaraan pribadi daripada kendaraan umum. Sekali waktu coba amati salah satu kendaraan yang melintas di jalan, untuk membawa 1-2 orang saja menggunakan mobil, yang ukuran luasnya tidak kurang dari 1×2m2. Jika saja setiap orang berpikiran, “Kalau bisa jalan kaki kenapa harus pakai sepeda/motor?, kalau bisa pakai sepeda/motor kenapa harus pakai mobil?, kalau bisa pakai mobil kecil, kenapa harus pakai mobil besar?, dan kalau bisa pakai angkutan umum kenapa harus pakai kendaraan pribadi?” Why not? Mari kita kembalikan pada mentalitas kita masing-masing.

Pemerintah dalam hal ini tentu tidak bisa serta merta melarang orang punya kendaraan atau mempunyai beberapa kendaraan. Namun pemerintah punya wewenang mengatur penggunaan kendaraan dan lalu-lintas di jalan. Selain itu melalui kekuasaanya, pemerintah misalnya, dapat memperketat kebijakan impor kendaraan sehingga jumlah pertumbuhannya terkendali. Ketika jumlah kendaraan bermotor yang notabene berbahan bakar bensin/solar diperketat penggunaannya, ‘kan juga akan berimbas pada penghematan penggunaan bahan bakar minyak (BBM). Semuanya kembali pada mentalitas kita.

Dari uraian di atas beberapa faktor penyebab kemacetan lalu-lintas khususnya di DKI Jakarta, menurut saya adalah sebagai berikut:
1. Jumlah volume kendaraan yang tidak sebanding dengan kapasitas jalan raya.
2. Efisiensi dan efektifitas penggunaan kendaraan bermotor yang rendah.
3. Tingkat kedisiplinan dan kesadaranpemakai jalan yang rendah.
4. Bencana banjir yang datangnya secara periodik (musiman).
5. Penataan dan pengaturan penggunaan jalan dan fasilitas pendukungnya yang belum maksimal (misalnya penyediaan trotoar, penyediaan jalan khusus sepeda/motor, dsb.)
6. Sarana angkutan umum yang jumlah dan kualitasnya belum memadai.
7. Tingkat mobilitas penduduk yang tinggi pada waktu-waktu tertentu (misalnya pagi dan sore hari)
Semoga bermanfaat.

Selama 2012, 13 juta kendaraan sesaki Jakarta



Kemacetan di Jakarta sudah luar biasa parahnya. Berbagai cara pun dilakukan pemerintah dalam upaya mengurangi kepadatan volume kendaraan.

Sayang, tidak ada perubahan yang signifikan dari sejumlah solusi yang sudah coba diterapkan. Penyebabnya adalah jumlah kendaraan dipasarkan di Jakarta tidak bisa dibendung.

Berdasarkan data Direktorat Lalu Lintas (Ditlantas) Polda Metro Jaya, jumlah penjualan mobil di Jakarta memang mengalami peningkatan sebanyak 11% dibandingkan tahun sebelumnya.

Di kuartal I tahun 2011, mobil yang terjual di Jakarta mencapai 225.739 unit. Sedangkan untuk tahun ini, di kuartal pertama sudah mencapai 249.589 unit.

Dengan jumlah penjualan yang meningkat tersebut, otomatis kendaraan-kendaraan baru itu semakin membanjiri dan memacetkan Jakarta.

Sejak Januari sampai April 2012 ini, kendaraan yang membebani jalanan Jakarta sudah mencapai 13.346.802. Dengan perincian, motor 9.861.451 unit, mobil 2.541.351 unit, mobil beban 581.290 unit, dan bus 363.710 unit.

Secara keseluruhan, Indonesia kini menjadi negara ketiga yang paling banyak menggunakan kendaraan bermotor setelah Amerika dan China. Di tahun 2011, jumlah kendaraan bermotor di Indonesia mencapai 107.226.572 unit. Dengan rincian, mobil sebanyak 20.158.595 unit dan sepeda motor 87.067.796 unit.

Di tahun yang sama jumlah kendaraan yang beroperasi di Amerika berjumlah 246.56 juta unit dan di China 154.65 juta unit.


Tiap Hari Bertambah 1.068 Motor dan 216 Mobil

  JAKARTA, KOMPAS.com — Kemacetan di Jakarta bukan hal yang baru bagi masyarakat. Namun, kian hari kemacetan di Jakarta kian menjadi, bahkan di lokasi-lokasi yang biasanya jarang mengalami kemacetan. Wajar saja, mengingat tiap hari sebanyak 1.068 motor bertambah di jalanan Jakarta.

"Itu baru sepeda motor. Belum lagi kendaraan roda empat yang tiap hari bertambah sekitar 216 mobil," kata Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Riza Hashim, saat paparan dalam Optimalisasi Ruang Jalan dan Penegakan UUAJ Nomor 22 Tahun 2009 di Hotel Grand Menteng, Jakarta, Rabu (14/12/2011).

Kenaikan penggunaan kendaraan pribadi ini, lanjutnya, tidak diimbangi dengan kapasitas jalan yang hanya bertambah sekitar 0,01 persen dalam setahun. Karena itu, sudah pasti keberadaan jalan menjadi terganggu dan memunculkan kemacetan lalu lintas.

Berdasarkan data dari Dinas Perhubungan DKI Jakarta, jumlah kendaraan di Jakarta pada tahun 2007 sebanyak 5,8 juta unit dengan rincian 2,2 juta mobil dan 3,6 juta motor. Pada tahun 2008, jumlah kendaraan kembali meningkat menjadi 6,3 juta unit dengan rincian 2,3 juta mobil dan 4 juta motor.
Sementara pada tahun 2009, jumlah kendaraan kembali naik menjadi 6,7 juta unit dengan rincian 2,4 juta mobil dan 4,3 juta motor. Pada 2010, peningkatan jumlah kendaraan menembus angka 7,29 juta unit dengan rincian 2,56 juta mobil dan 4,73 juta motor.

"Tahun ini meningkat lagi jadi 7,34 juta unit, kendaraan roda empat sebesar 2,5 juta unit dan kendaraan roda dua hampir 5 juta unit," katanya.
Sementara itu, anggota Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ), Iskandar Abubakar, mengungkapkan bahwa dengan keadaan seperti ini, produksi kendaraan dan pembelian kendaraan oleh masyarakat harus mulai dibatasi. Kendati demikian, ia mengerti mengapa masyarakat lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi daripada kendaraan umum.
"Perbaikan kendaraan umum dan optimalisasinya harus diutamakan agar masyarakat mau berpindah menggunakan kendaraan umum," ujar Iskandar.


Sumber :

http://jakarta.kompasiana.com/transportasi/2013/01/07/kemacetan-lalu-lintas-di-dki-jakarta-dalam-tinjauan-522101.html

http://www.merdeka.com/jakarta/selama-2012-13-juta-kendaraan-sesaki-jakarta.html

http://megapolitan.kompas.com/read/2011/12/14/16413366/Tiap.Hari.Bertambah.1.068.Motor.dan.216.Mobil